Created by : Forum Creative Crew "Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana "

Senin, 04 Mei 2009

keharuman

ketika sebuah bunga mekar
tercium keharumannya
warna merekah
saat keping kelopak satu persatu mulai gugur
meninggalkan tangkai dan dahan penyyangga
kahruman perlahan mulai semu
pertanyaan kemudian muncul
akankah di dahan yang sama , tangkai yang sama
muncul keharuman serupa
matematis menjawab dengan teori kemungkinan
kemungkinan bisa di tengah jutaan perbandingan
hingga kapan
hingga dunia menutup kenyataan
bukankah bijaksana ketika berkata
biarlah keharuman itu menjadi semu
dan hanya nyata dalamsebuah fatamorgana pikiran

profil by tia

FPMHD UNUD, Kepedulian dan NGayah
Bermula dari kepedulian terhadap “pemojokan” terhdap Hindu, lahir sebuah organisasi yang mewadahi anak muda Hindu dari seluruh Universitas di Bali yang peduli akan hal ini yakni Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Bali. Namun ungkapan “ tak akan ada yang abadi dan kekal kecuali Tuhan dan perubahan yang dibuatNya” membuktikan kejayaannya, wadah ini akhirnya lambat laun hilang ditelan gagahnya sang waktu.
Tuhan ternyata membuat rencana lain dari semua itu, Mahasiswa Hindu dari berbagai Senat Fakultas di Universitas Udayana yang masih peduli terhadap Hindu mencoba menghidupkan kembali wadah melalui sebuah perhelatan akbar yakni Paruman Agung pada tanggal 28 juni 1992 dan wadah ini diberi nama” Forum Persaudaraaan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana (FPMHD UNUD)” dengan panggilan akrab” Forum”
Menjunjung konsep “ngayah” dan slogan “Satyam Eva Jayate” FPMHD membuktikan kegagahannya tetap bertahan dari “terpaan angin sang waktu” hingga memasuki tahun ke-17 sekarang. Tercatat selama rentang waktu tersebut terdapat 12 kali pergantian koordintor yakni ,diantaranya Dewa Rai Anom (1992 – 1994 ), Nyoman Dawan (1994 - 1996), Kadek Swaryati (1996 – 1998), I Dewa Putu Singarsa (1998 – 2000), Ni Nyoman Susanti (2000 – 2001), I Gede Mastika (2001 – 2002), I Ketut Arya Sudiadnyana (2002 – 2003), I Ketut Buana (2003 – 2004), I Wayan Mertayasa (2004 – 2005), I Made Ari Putranta (2005 – 2006), I Wayan Kertiyasa (2006 – 2007) I Gede Indra Suwija Putra (2007 – 2008), dan saat ini yang menjadi koordinator adalah I Putu Hendra Satrawan (2008-2009).
Sebuah organisasi tentu mempunyai visi dan misi yang menjadi landasan untuk melajukan “mobil” ini serta bagian pendukung dari mobil itu selain koordinator jika bisa diibaratkan sebagai “sopir”. Visi Forum sendiri adalah membentuk Mahasiswa Hindu Unud sebagai kader bangsa yang berkualitas berdasarkan srada,sementara misi FPMHD-Unud adalah menggugah kesadaran Mahasiswa Hindu Unud melalui peningkatan penghayatan dan pengamalan wawasan keagamaan Mahasiswa Hindu Unud, guna meningkatkan potensi diri. Dan “bagian-bagian lain dari mobil ini” yang melengkapi coordinator adalah Sekretaris Jeneral yakni I Gede Arie Novita Pratama, Bendahara yakni I.G.A.Intan Lestari,sebuah badan pertimbangan bernama LItbang diketuai oleh I Made Rusmawan, serta bidang-bidang yang menyokong Forum tetap berjalan yakni Bidang I: Bina Dharma dengan ketua bidang Nyoman Wendy Saputra, Bidang II: Organisasi dengan ketua bidang A.A. Gede Asti Suanda, Bidang III: Bina Warga dengan ketua Bidang I Made Wiasta, Bidang IV: Usaha dan Dana dengan ketua Bidang Shanti Rahayu S.,Bidang V: Hubungan dan Informasi dengan ketua Bidang I Gede Arya Prana Udayana, bidang VI: Advokasi dengan ketua Bidang Ni Luh Gede Santi Dewi dan Bidang VII: Khusus Jurnalistik dengan ketua Bidang Made Santiari. Kesemua itu adalah susunan pengurus untuk periode 2008-2009. Dalam perjalanannya Forum juga pernah mengalami masa sulit, dan untuk itu dipungkiri atau tidak, diperlukan sesosok figur yang dapat diajak berbagi dan memberi nasihat yang terbaik untuk semua jenis permasalahan. Sosok Itu adalah Penasihat, pada periode kepengurusan ini sosok-sosok tersebut adalah Prof. DR. Dr. I Wayan Wita. SPJP., Drs. I Gde Wardana, M.Si., dan Prof. Dr. I Nyoman Sucipta, MP.


Sejumlah agenda yang pernah diadakan Forum seperti Diskusi Panel tentang Pelanggaran Bisame di ULUWATU, Diskusi panel tentang Pantai Geger, ikut menolak RUU Pornograpi, Bakti Sosial di teja kula, dan melaksanakan Lomba Cerdas-cerma Agama Hindu dan Kording se-Bali. Dan kini sebuah titipan manis menutup semua ini yakni Ikang Dharma Inaran Widhi, Dharma Raksati Raksita, Satyam Eva Jayate.(tia)

Jumat, 23 Januari 2009

TENTANG SIWARATRI BAGIAN 2

sumber : iloveblue.com

SIWA RATRI, JALAN PENDAKIAN MENUJU PEMBEBASAN

Hari suci Siwa Ratri datang setahun sekali, yaitu pada hari ke-14 paro gelap bulan ketujuh (panglong ping 14 sasih kapitu). Tahun 2004 ini Siwa Ratri jatuh pada Selasa (20/1) kemarin. Umat Hindu pada hari suci itu melaksanakan brata Siwa Ratri yaitu jagra (melek), upawasa (puasa) dan monabrata (mengendalikan perkataan). Namun, sesungguhnya dalam perayaan ritual itu secara khusus diadakan upacara mengaturkan punia kepada para pandita dan masyarakat luas. Lalu apa sesungguhnya hakikat Siwa Ratri dikaitkan dengan konteks kekinian?

==========================

Dalam buku ''Memahami Makna Siwa Ratri'' karangan IBG Agastia disebutkan ada sejumlah sumber Sansekerta memuat uraian tentang Siwa Ratri yaitu Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda Purana, dan Padma Purana. Sementara sumber Jawa Kuno juga memuat tentang Siwa Ratri yakni Kekawin Siwa Ratrikalpa -- yang dalam kehidupan masyarakat lebih dikenal dengan sebutan Kekawin Lubdaka karya Mpu Tanakung. Karya sastra kekawin ini ternyata bersumber dari Padma Purana.

Agastia dalam buku itu mengatakan Kekawin Siwaratrikalpa dikarang oleh Mpu Tanakung pada zaman Majapahit akhir, kuartal ketiga abad ke-15. Dengan demikian karya sastra ini tak ada hubungannya dengan Ken Arok, sebagaimana dituduhkan sementara peneliti bahwa dengan menulis Kekawin Siwaratrikalpa, Mpu Tanakung ingin meligitimasi kedudukan Ken Arok sebagai raja, yang semula adalah seorang pembunuh, perampok dan seterusnya.

Melalui kekawin itu, Mpu Tanakung menceritakan kisah seorang papa, si Lubdaka, yang karena melaksanakan brata Siwa Ratri pada malam Siwa yang suci, akhirnya mendapat anugerah Batara Siwa. ''Melalui kekawin itu Mpu Tanakung sesungguhnya telah menguraikan aspek-aspek filsafat agama, tata susila agama dan upacara agama menurut ajaran Siwa yang dapat dipakai pedoman dalam kehidupan umatnya,'' katanya dalam buku tersebut.

Siwa Ratri mengandung ajaran penyadaran diri manusia tentang dari mana semua makhluk ini berasal, semua makhluk hidup berkembang dan kemudian ke mana mereka lebur. Selanjutnya dengan akal sehat, sebagaimana disiratkan dalam kitab suci, menemukan dirinya sendiri untuk menjawab apakah realitas tertinggi yang menjadi tujuan dan asal-muasal itu ada. Jika ada kerinduan dalam diri kita untuk mendekatkan diri dengan Yang Tertinggi (Tuhan), itu pertanda bekerjanya Yang Tertinggi dalam pikiran dan hati kita.

Lewat Perjuangan Tokoh

Kitab-kitab susastra kemudian menuangkan kesadaran itu lewat ''perjuangan'' para tokoh dalam karya tersebut, seperti sang Arjuna dalam Kekawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa dan Lubdaka dalam Kekawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung. Arjuna setelah melakukan tapa brata yoga semadi akhirnya mendapat anugerah senjata Pasupati (Cadusakti), sedangkan Lubdaka setelah melaksanakan brata Siwa Ratri mendapat anugerah Asta Guna Anima Hyang Siwa.

Di sini tampak bahwa Hyang Siwa adalah jiwa seru sekalian alam adalah juga asal dan tujuan akhir manusia. Yoga adalah jalan untuk kembali kepada-Nya. Dengan demikian Siwa Ratri merupakan malam yang penuh kesucian (nirmala). Umat manusia dengan melewati jalan itu memfokuskan seluruh pikirannya kepada Siwa, penguasa jagat raya. Renungan tentang Siwa Ratri memang memerlukan pendalaman dengan pemekaran rasa. Pembacaan karya-karya suci, pemujaan dengan sloka-sloka oleh para pandita menjadi sangat penting dalam perayaan Siwa Ratri.

Brata Siwa Ratri itu terdiri atas monabrata yakni mengendalikan kata-kata, upawasa atau puasa dan jagra atau melek. Umat mengadakan pemujaan dan pemusatan pikiran terhadap Siwa sebagai penguasa alam semesta. Brata adalah pelaksanaan ajaran terpenting dalam agama Hindu. Dalam Kekawin Siwa Ratrikalpa disebutkan si pemburu atau si papa dengan melaksanakan brata yang utama, papanya akan lebur. Padma Purana dengan tegas menyebutkan Siwa Ratri adalah malam peleburan kepapaan atau pembebasan manusia dari kepapaan. Jadi, pelaksanaan brata Siwa Ratri dapat dikatakan sebagai jalan pendakian menuju pembebasan.

Siwa Ratri juga disebut dalam sumber-sumber Eropa. Brata Zuiverasiri (Siwa Ratri) dilakukan pada bulan Februari dikaitkan dengan kisah seorang pemburu bernama Beri. Karena kemalaman di hutan, Beri naik ke atas pohon cuola (bilwa). Semalaman ia memetik daun itu yang tanpa disadari telah melemparkannya ke Zuivelingga (Siwalingga) yang ada di bawah pohon itu. Akhirnya sang pemburu, Beri, mendapat anugerah dari Ixora (Iswara). Itu berarti cerita pemburu yang mendapat anugerah Siwa telah jauh tersebar. Kisah seperti ini bersumber pada kitab-kitab Sansekerta. Di Indonesia (Bali), kisah itu dituangkan dalam Kekawin Siwaratrikalpa dalam bahasa Jawa Kuno, lanjut diadaptasi dalam naskah-naskah kuno.

TENTANG SIWARATRI

sumber : babadbali

1. Pengertian.
Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya). Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa upawasa, monabrata dan jagra. Siwarâtri juga disebut hari suci pajagran.

2. Waktu Pelaksanaan.
Siwarâtri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu).

3. Brata Siwarâtri.
Brata Siwarâtri terdiri dari:
1. Utama, melaksanakan:
1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
3. Jagra (berjaga, tidak tidur).
2. Madhya, melaksanakan:
1. Upawasa.
2. Jagra.
3. Nista, hanya melaksanakan:
Jagra.

4. Tata cara melaksanakan Upacara Siwarâtri.
1. Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon.
2. Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:
1. Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan batin.
2. Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya.
3. Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon bantuan dan tuntunannya.
4. Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:
- Sang Hyang Siwa.
- Dewa Samodaya.
Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwarâtri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.
5. Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati upowasa dan jagra.
Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam).
Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih.
Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
6. Persembahyangan seperti tersebut dalam nomor 4 di atas, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.

Rabu, 21 Januari 2009

ARTI LAMBANG SWASTIKA DALAM AGAMA HINDU

artikel-artikel ini dikutip dari berbagai sumber



LAMBANG SWASTIKA HINDU

Swastika merupakan salah satu simbol yang paling disucikan dalam tradisi Hindu, merupakan contoh nyata tentang sebuah simbol religius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks sehingga hampir mustahil untuk dinyatakan sebagai kreasi atau milik sebuah bangsa atau kepercayaan tertentu.

Diyakini sebagai salah satu simbol tertua di dunia, telah ada sekitar 4000 tahun lalu (berdasarkan temuan pada makam di Aladja-hoyuk, Turki), berbagai variasi Swastika dapat ditemukan pada tinggalan-tinggalan arkeologis ( koin, keramik, senjata, perhiasan atau pun altar keagamaan) yang tersebar pada wilayah geografis yang amat luas.
Wilayah geografis tersebut mencakup Turki, Yunani, Kreta, Cyprus, Italia, Persia, Mesir, Babilonia, Mesopotamia, India, Tibet, China, Jepang, negara-negara Skandinavia dan Slavia, Jerman hingga Amerika.

Budha mengambil swastika untuk menunjukkan identitas Arya.

Makna simbul Swastika adalah Catur Dharma yaitu empat macam tugas yang patut kita Dharma baktikan baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk umum (selamat, bahagia dan sejahtra) yaitu:
1. Dharma Kriya = Melaksanakan swadharma dengan tekun dan penuh rasa tanggung jawab
2. Dharma Santosa = Berusaha mencari kedamaian lahir dan bathin pada diri sendiri.
3. Dharma Jati=Tugas yang harus dilaksanakan untuk menjamin kesejahtraan dan ketenangan keluarga dan juga untuk umum
4. Dharma Putus=Melaksanakan kewajiban dengan penuh keikhlasan berkorban serta rasa tanggung jawab demi terwujudnya keadilan social bagi umat manusia.

Makna yang lebih dalam yaitu Empat Tujuan Hidup yaitu Catur Purusartha / Catur Warga: Dharma, Kama, Artha, Moksa.
1. Dharma = Kewajiban/kebenaran/hukum/Agama/Peraturan/Kodrat
2. Artha = Harta benda / Materi
3. Kama = Kesenangan / Hawa Nafsu
4. Moksa = Kebebasan yang abadi

Swastika dalam berbagai bangsa
Simbol ini, yang dikenal dengan berbagai nama seperti misalnya Tetragammadion di Yunani atau Fylfot di Inggris, menempati posisi penting dalam kepercayaan maupun kebudayaan bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Troya, Hittite, Celtic serta Teutonic. Simbol ini dapat ditemukan pada kuil-kuil Hindu, Jaina dan Buddha maupun gereja-gereja Kristen (Gereja St. Sophia di Kiev, Ukrainia, Basilika St. Ambrose, Milan, serta Katedral Amiens, Prancis), mesjid-mesjid Islam ( di Ishafan, Iran dan Mesjid Taynal, Lebanon) serta sinagog Yahudi Ein Gedi di Yudea.

Swastika pernah (dan masih) mewakili hal-hal yang bersifat luhur dan sakral, terutama bagi pemeluk Hindu, Jaina, Buddha, pemeluk kepercayaan Gallic-Roman (yang altar utamanya berhiaskan petir, swastika dan roda), pemeluk kepercayaan Celtic kuna (swastika melambangkan Dewi Api Brigit), pemeluk kepercayaan Slavia kuno (swastika melambangkan Dewa Matahari Svarog) maupun bagi orang-orang Indian suku Hopi serta Navajo (yang menggunakan simbol itu dalam ritual penyembuhan). Jubah Athena serta tubuh Apollo, dewa dan dewi Yunani, juga kerap dihiasi dengan simbol tersebut.

Di pihak yang lain, Swastika juga menempati posisi sekuler sebagai semata-mata motif hiasan arsitektur maupun lambing entitas bisnis, mulai dari perusahaan bir hingga laundry.

Bahkan perusaha besar Microsoft menggunakan lambang swastika miring ke kanan 45 derajat, mungkin sebagai lambang keberuntungan. Karena sampai saat ini tercatat sebagai perusahaan terkaya di Dunia.

Bahkan, swastika juga pernah menjadi simbol dari sebuah kekejaman tak terperi saat Hitler menggunakannya sebagai perwakilan dari superioritas bangsa Arya. Jutaan orang Yahudi tewas di tangan para prajurit yang dengan bangga mengenakan lambang swastika (Swastika yang “sinistrovere”: miring ke kiri sekitar 45 derajat) di lengannya.
Swastika sebagai lambang Dewa Ganesha (anak Shiva yang bermuka gajah), sebagai makna Catur Dharma.

Kata Krishna pada Arjuna di medan pertempuran .. ketika Arjuna harus berperang melawan saudaranya sendiri inilah yang salah ditapsirkan oleh Hitler yaitu “Lakukanlah apapun yang harus kau laukukan selama itu adalah tugasmu. Kau harus mengemban tugasmu dengan baik walaupun itu berarti harus membunuh (untuk kebaikan), karena melakukan tugasmu dengan baik adalah bentuk pengabdian pada Tuhan”

Hitler mungkin tertarik pada arti swastika makanya dia mengambil lambang swastika dan membaliknya, makanya dia bisa mambunuh dengan tanpa rasa bersalah. Karena dia berpikir apa yang diperbuatnya adalah apa yang benar. Dia berlindung dibawah Swastika yang arahnya terbalik, yang semestinya untuk makna Catur Dharma.
sumber : indoforum

-------------------------------------------------------------------------------

Setelah sang Suyasa memperbaiki cara duduknya. Rsi Dharmakertipun mulailah:

“Anakku, tadi anakku mengucapkan panganjali: “Om Swastyastu”. Tahukah anakndaapa artinya? Jika belum, dengarlah! OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi.

Nanti akan Guru terangkan lebih lanjut. Kata Swastyastu terdiri dari kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU, Su artinya baik, Asti artinya adalah, Astu artinya mudah-mudahan. Jadi arti keseluruhan OM SWASTYASTU ialah “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”. Kata Swastyastu ini berhubungan erat dengan simbol suci Agama kita yaitu SWASTIKA yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos).


Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi. Dan dengan ucapan panganjali Swastyastu itu anakku sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi.

Sang Suyasa:
Oh Gurunda, maafkan kalau hamba memotong. Hamba tidak mengirademikian luas maksud dari ucapan panganjali atau penghormatan hamba tadi itu. Betul-betul hamba tidak tahu artinya. Hamba hanya mendengar dmeikian, lalu hamba ikut-ikutan saja.

Rsi Dharmakerti:
Memanglah demikian tingi nilai dari ajaran Agama kita anaknda. Guru gembira bahwa anaknda senang mendengarnya. Ketahuilah bahwa kata SWASTI (su + asti) itulah menjadi kata SWASTIKA. Akhiran “ka” adalah untuk membentuk kata sifat menjadi kata benda. Umpamanya: jana - lahir; janaka - ayah; pawa - membakar; pawaka - api, dan lain-lainnya.

Ingatkah anaknda apa yang Guru pakai untuk menjawab ucapan panganjali itu?Rsi Dharmakerti:
Tidak mengapa anaknda, Guru akan jelaskan bahwa arti kata OM SHANTI, SHANTI, SHANTI itu ialah: Semoga damai atas karunia Hyang Widhi”

Shanti artinya damai. Dan jawaban ini hanya diberikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sedangkan jawaban atau sambutan terhadap panganjali “Om Suastiastu” dari orang yang sebaya atau dari orang yang lebih tua cukuplah dengan Om Swastiastu yaitu sama-sama mendoakan semoga selamat. Hanya yang lebih tua patut memakai. Om Shanti, Shanti, Shanti terhadap yang lebih muda. Atau dipakai juga untuk menutup suatu uraian atau tulisan.

Sang Suyasa:
Gurunda, maafkan atas kebodohan diri hamba. Akan sangat banyak yang hamba tanyakan supaya benar-benar sirnalah segala kegelapan yang melekat di jiwa hamba.

Gurunda, walaupun kedengarannya agak ke-kanak-kanakan maafkanlah jika anaknda bertanya apa arti agama itu sendiri.

sumber : pustaka hindu

Minggu, 18 Januari 2009

Tumpek Landep,,, Peningkatan ketajaman berpikir

Ida Pedanda Made Gunung:
Mempertajam ''Manah'' dan Kewaspadaan

HINDU memiliki banyak hari raya. Hari raya keagamaan itu sesungguhnya memiliki makna cukup luas. Termasuk Tumpek Landep, tak hanya bermakna ritual. Dalam konteks filosofis, Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kesadaran pikiran. Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Hal itu ditegaskan Ida Pedanda Gede Made Gunung saat memberi dharma wacana di hadapan umat Hindu, Sabtu (15/11) kemarin. Dharma wacana serangkaian perayaan rerahinan Tumpek Landep itu mengambil tema ''Tumpek Landep dalam Kehidupan Sehari-hari''.

Dengan pikiran yang tajam, kata Ida Pedanda, diharapkan umat dapat menumpulkan gejolak indria dan menghindari perilaku menyimpang. Tumpek, kata Ida Pedanda, berarti pula tampek dan landep berarti tanying (tajam). Dalam perayaan ritual Tumpek Landep, umat diingatkan untuk selalu mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan umat dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan.

''Ritual Tumpek Landep sesungguhnya mengingatkan umat untuk selalu menajamkan manah sehingga mampu menekan perilaku buthakala,'' katanya.

Dalam kehidupan sehari-hari umat diisyaratkan untuk selalu menajamkan ilmu dan keterampilan agar mampu bersaing dalam era kesejagatan. ''Yang terpenting lagi, umat hendaknya selalu menajamkan keyakinannya terhadap Tuhan,'' katanya. Dalam situasi seperti sekarang, umat penting pula menajamkan rasa persatuan dan kesatuan dan membangkitkan kewaspadaan diri. Termasuk mewaspadai keamanan Bali. Jangan mau dipecah-belah, karena buta politik. Sebab, sejarah membuktikan, banyak orang Bali menjadi korban politik. Padahal politik dalam arti sesungguhnya memiliki tujuan mulia yakni untuk mensejahterakan masyarakat. Tetapi, praktiknya berbeda, politik justru untuk mensejahterakan kelompok dan diri sendiri.

Ditegaskan pula, ritual Tumpek Landep merupakan tonggak introspeksi (mulatsarira). Artinya, umat manusia dituntun agar bisa mengaktualisasikan diri pada pembentukan watak atau karakter yang sesuai dengan ajaran agama. Setiap Tumpek Landep, umat diharapkan mulatsarira, evaluasi diri apa yang telah dilakukan selama ini. Ini penting untuk melakukan pembenahan-pembenahan dalam masa mendatang.

Kontradiktif
Di sisi lain Ida Pedanda mengatakan, tiada hari tanpa doa di Bali. Tetapi, kondisi di lapangan sangatlah kontradiktif. Ada orang bunuh diri, gantung diri, berlaku seperti buthakala, dan melakukan tindak kekerasan dll. Logikanya, jika umat selalu mendekatkan diri kepada Tuhan, sesungguhnya sikap buthakala semakin jauh dari pribadi umat. Nah, kenapa itu bisa terjadi? Menurut Ida Pedanda, karena umat tidak mampu menghayati diri sendiri dan Bali itu sendiri.

Bali merupakan Pulau Surga. Sebagai pulau surga mestinya orang Bali adalah memiliki sifat Bethara dan Bethari. Tapi kenyataanya ada yang berperilaku di luar sifat Bethara dan Bethari.

Karena itu, Ida Pedanda berharap umat menyeimbangkan keperluan jasmani dan rohani. Jika setiap hari umat masuk dapur tiga kali, hal yang sama mesti dilakukan untuk keperluan rohani. Itu berarti umat mesti bersembahyang tiga kali sehari ke merajan. Dengan demikian, ada keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani.

Ida Pedanda menegaskan, Tumpek Landep bukan otonan motor atau komputer. Tumpek Landep adalah pemujaan Tuhan karena saat itu beryoga Dewa Siwa. Makanya persembahyangan Tumpek Landep adalah di merajan masing-masing. Namun untuk otonan motor paling bagus dilakukan saat Tumpek Landep. ''Jadi, bukan karena ada motor kita merayakan Tumpek Landep,''ujarnya. (lun)
sumber : www.balipost.co.id

Dewi Saraswati


Ilmu pengetahuan merupakan salah satu unsur untuk meningkatkan tarap hidup manusia. Betapa pentingnya ilmu pengetahuan itu bagi manusia sehingga di dalam ajaran Agama Hindu diabadikan dalam bentuk simbolis Dewi Saraswati. Saraswati adalah sebuah nama suci untuk menyebutkan sosok Dewi Ilmu Pengetahuan. Kata Saraswati berasal dari kata “saras” dan “wati”. Saras memiliki arti mata air, terus menerus atau sesuatu yang terus menerus mengalir. Sedangkan kata wati berarti memiliki. Dengan demikian Saraswati berarti sesuatu yang memiliki atau mempunyai sifat mengalirkan secara terus menerus air kehidupan dan ilmu pengetahuan. Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita cantik yang bertangan empat. Perihal sosok cantik untuk menggambarkan Dewi Saraswati, sesunguhnya mengandung arti simbolis. Bahwa apa yang digambarkan cantik itu pasti menarik, karena Dewi Saraswati adalah Dewi ilmu pengetahuan, maka tentu saja akan membuat umat manusia tertarik untuk mempelajari ilmu pengetahuan itu sendiri. Ketertarikan di sini jelas bukan dari segi fisik biologis, melainkan harus dilihat etis-religius. Bahwa mempelajari ilmu pengetahuan sebenarnya adalah salah satu bentuk bhakti kita kepada Dewi Saraswati. Tentu saja ilmu pengetahuan yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Ilmu pengetahuan merupakan harta yang tak ternilai harganya, sebab selama manusia itu hidup, ilmu pengetahuan yang dimilikinya tidak akan habis atau berkurang malah akan bertambah terus sesuai dengan kemampuannya menyerap ilmu pengetahuan. Lain halnya dengan harta benda duniawi yang sewaktu-waktu bisa habis, kalau tidak cermat memanfaatkannya. Ilmu pengetahuan merupakan senjata yang utama dalam meningkatkan kehidupan dunia ini. Orang bisa mencapai kedudukan yang terhormat, kewibawaan, kemuliaan kalau memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi.

Dalam ajaran Tri Murti menurut agama Hindu, Sang Hyang Aji Saraswati adalah saktinya/kekuatan Sang Hyang Brahma. Beliau diwujudkan sebagai wanita cantik bertangan empat lengkap dengan berbagai atributnya antara lain: wina/alat musik, teratai, genitri, cakepan/kitab. Disamping itu terdapat pula burung merak dan angsa. Dari semua atribut itu memiliki makna sebagai beikut:

  1. Genitri adalah lambang bahwa ilmu pengetahuan itu tidak pernah berakhir sepanjang hidup dan tak akan pernah habis dipelajari.
  2. Cakepan/kitab adalah lambang sumber ilmu pengetahuanWina/alat musik adalah mencerminkan bahwa ilmu pengetahuan dapat mempengaruhi rasa estetika/keindahan dari manusia.
  3. Teratai sebagai stana / linggih Hyang Widhi.
  4. Burung merak melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu agung dan berwibawa.
  5. Angsa adalah simbul dari kebijaksanaan untuk membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Dan juga angsa merupakan lambang kekuasaan di ketiga dunia (tri loka) karena ia bergerak di tiga unsur alam yaitu di air, darat maupun di udara.

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang berfungsi sebagai tempat bagi kalangan pendidik untuk melaksanakan proses pembelajaran kepada anak didiknya. Sangat tepatlah sekolah yang berada di daerah Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dibuatkan monumen ilmu pengetahuan dalam bentuk patung Dewi Saraswati untuk mengabadikan symbol suci ilmu pengetahuan. Hal ini dapat memberi ciri khas dan wibawa sekolah sebagai tempat untuk menuntut ilmu pengetahuan. Di samping tujuan tersebut dapat juga bermanfaat dalam proses pembelajaran di antaranya, yaitu :

  • sebagai motivasi belajar bagi anak didik
  • sebagai media pembelajaran agama Hindu
  • sebagai obyek dan media dalam pembelajaran seni rupa
  • sebagai salah satu unsur untuk menciptakan keindahan halaman atau taman sekolah