Created by : Forum Creative Crew "Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana "
Tampilkan postingan dengan label Posting artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Posting artikel. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 Januari 2009

TENTANG SIWARATRI BAGIAN 2

sumber : iloveblue.com

SIWA RATRI, JALAN PENDAKIAN MENUJU PEMBEBASAN

Hari suci Siwa Ratri datang setahun sekali, yaitu pada hari ke-14 paro gelap bulan ketujuh (panglong ping 14 sasih kapitu). Tahun 2004 ini Siwa Ratri jatuh pada Selasa (20/1) kemarin. Umat Hindu pada hari suci itu melaksanakan brata Siwa Ratri yaitu jagra (melek), upawasa (puasa) dan monabrata (mengendalikan perkataan). Namun, sesungguhnya dalam perayaan ritual itu secara khusus diadakan upacara mengaturkan punia kepada para pandita dan masyarakat luas. Lalu apa sesungguhnya hakikat Siwa Ratri dikaitkan dengan konteks kekinian?

==========================

Dalam buku ''Memahami Makna Siwa Ratri'' karangan IBG Agastia disebutkan ada sejumlah sumber Sansekerta memuat uraian tentang Siwa Ratri yaitu Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda Purana, dan Padma Purana. Sementara sumber Jawa Kuno juga memuat tentang Siwa Ratri yakni Kekawin Siwa Ratrikalpa -- yang dalam kehidupan masyarakat lebih dikenal dengan sebutan Kekawin Lubdaka karya Mpu Tanakung. Karya sastra kekawin ini ternyata bersumber dari Padma Purana.

Agastia dalam buku itu mengatakan Kekawin Siwaratrikalpa dikarang oleh Mpu Tanakung pada zaman Majapahit akhir, kuartal ketiga abad ke-15. Dengan demikian karya sastra ini tak ada hubungannya dengan Ken Arok, sebagaimana dituduhkan sementara peneliti bahwa dengan menulis Kekawin Siwaratrikalpa, Mpu Tanakung ingin meligitimasi kedudukan Ken Arok sebagai raja, yang semula adalah seorang pembunuh, perampok dan seterusnya.

Melalui kekawin itu, Mpu Tanakung menceritakan kisah seorang papa, si Lubdaka, yang karena melaksanakan brata Siwa Ratri pada malam Siwa yang suci, akhirnya mendapat anugerah Batara Siwa. ''Melalui kekawin itu Mpu Tanakung sesungguhnya telah menguraikan aspek-aspek filsafat agama, tata susila agama dan upacara agama menurut ajaran Siwa yang dapat dipakai pedoman dalam kehidupan umatnya,'' katanya dalam buku tersebut.

Siwa Ratri mengandung ajaran penyadaran diri manusia tentang dari mana semua makhluk ini berasal, semua makhluk hidup berkembang dan kemudian ke mana mereka lebur. Selanjutnya dengan akal sehat, sebagaimana disiratkan dalam kitab suci, menemukan dirinya sendiri untuk menjawab apakah realitas tertinggi yang menjadi tujuan dan asal-muasal itu ada. Jika ada kerinduan dalam diri kita untuk mendekatkan diri dengan Yang Tertinggi (Tuhan), itu pertanda bekerjanya Yang Tertinggi dalam pikiran dan hati kita.

Lewat Perjuangan Tokoh

Kitab-kitab susastra kemudian menuangkan kesadaran itu lewat ''perjuangan'' para tokoh dalam karya tersebut, seperti sang Arjuna dalam Kekawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa dan Lubdaka dalam Kekawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung. Arjuna setelah melakukan tapa brata yoga semadi akhirnya mendapat anugerah senjata Pasupati (Cadusakti), sedangkan Lubdaka setelah melaksanakan brata Siwa Ratri mendapat anugerah Asta Guna Anima Hyang Siwa.

Di sini tampak bahwa Hyang Siwa adalah jiwa seru sekalian alam adalah juga asal dan tujuan akhir manusia. Yoga adalah jalan untuk kembali kepada-Nya. Dengan demikian Siwa Ratri merupakan malam yang penuh kesucian (nirmala). Umat manusia dengan melewati jalan itu memfokuskan seluruh pikirannya kepada Siwa, penguasa jagat raya. Renungan tentang Siwa Ratri memang memerlukan pendalaman dengan pemekaran rasa. Pembacaan karya-karya suci, pemujaan dengan sloka-sloka oleh para pandita menjadi sangat penting dalam perayaan Siwa Ratri.

Brata Siwa Ratri itu terdiri atas monabrata yakni mengendalikan kata-kata, upawasa atau puasa dan jagra atau melek. Umat mengadakan pemujaan dan pemusatan pikiran terhadap Siwa sebagai penguasa alam semesta. Brata adalah pelaksanaan ajaran terpenting dalam agama Hindu. Dalam Kekawin Siwa Ratrikalpa disebutkan si pemburu atau si papa dengan melaksanakan brata yang utama, papanya akan lebur. Padma Purana dengan tegas menyebutkan Siwa Ratri adalah malam peleburan kepapaan atau pembebasan manusia dari kepapaan. Jadi, pelaksanaan brata Siwa Ratri dapat dikatakan sebagai jalan pendakian menuju pembebasan.

Siwa Ratri juga disebut dalam sumber-sumber Eropa. Brata Zuiverasiri (Siwa Ratri) dilakukan pada bulan Februari dikaitkan dengan kisah seorang pemburu bernama Beri. Karena kemalaman di hutan, Beri naik ke atas pohon cuola (bilwa). Semalaman ia memetik daun itu yang tanpa disadari telah melemparkannya ke Zuivelingga (Siwalingga) yang ada di bawah pohon itu. Akhirnya sang pemburu, Beri, mendapat anugerah dari Ixora (Iswara). Itu berarti cerita pemburu yang mendapat anugerah Siwa telah jauh tersebar. Kisah seperti ini bersumber pada kitab-kitab Sansekerta. Di Indonesia (Bali), kisah itu dituangkan dalam Kekawin Siwaratrikalpa dalam bahasa Jawa Kuno, lanjut diadaptasi dalam naskah-naskah kuno.

TENTANG SIWARATRI

sumber : babadbali

1. Pengertian.
Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya). Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa upawasa, monabrata dan jagra. Siwarâtri juga disebut hari suci pajagran.

2. Waktu Pelaksanaan.
Siwarâtri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu).

3. Brata Siwarâtri.
Brata Siwarâtri terdiri dari:
1. Utama, melaksanakan:
1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
3. Jagra (berjaga, tidak tidur).
2. Madhya, melaksanakan:
1. Upawasa.
2. Jagra.
3. Nista, hanya melaksanakan:
Jagra.

4. Tata cara melaksanakan Upacara Siwarâtri.
1. Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon.
2. Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:
1. Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan batin.
2. Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya.
3. Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon bantuan dan tuntunannya.
4. Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:
- Sang Hyang Siwa.
- Dewa Samodaya.
Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwarâtri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.
5. Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati upowasa dan jagra.
Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam).
Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih.
Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
6. Persembahyangan seperti tersebut dalam nomor 4 di atas, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.

Rabu, 21 Januari 2009

ARTI LAMBANG SWASTIKA DALAM AGAMA HINDU

artikel-artikel ini dikutip dari berbagai sumber



LAMBANG SWASTIKA HINDU

Swastika merupakan salah satu simbol yang paling disucikan dalam tradisi Hindu, merupakan contoh nyata tentang sebuah simbol religius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks sehingga hampir mustahil untuk dinyatakan sebagai kreasi atau milik sebuah bangsa atau kepercayaan tertentu.

Diyakini sebagai salah satu simbol tertua di dunia, telah ada sekitar 4000 tahun lalu (berdasarkan temuan pada makam di Aladja-hoyuk, Turki), berbagai variasi Swastika dapat ditemukan pada tinggalan-tinggalan arkeologis ( koin, keramik, senjata, perhiasan atau pun altar keagamaan) yang tersebar pada wilayah geografis yang amat luas.
Wilayah geografis tersebut mencakup Turki, Yunani, Kreta, Cyprus, Italia, Persia, Mesir, Babilonia, Mesopotamia, India, Tibet, China, Jepang, negara-negara Skandinavia dan Slavia, Jerman hingga Amerika.

Budha mengambil swastika untuk menunjukkan identitas Arya.

Makna simbul Swastika adalah Catur Dharma yaitu empat macam tugas yang patut kita Dharma baktikan baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk umum (selamat, bahagia dan sejahtra) yaitu:
1. Dharma Kriya = Melaksanakan swadharma dengan tekun dan penuh rasa tanggung jawab
2. Dharma Santosa = Berusaha mencari kedamaian lahir dan bathin pada diri sendiri.
3. Dharma Jati=Tugas yang harus dilaksanakan untuk menjamin kesejahtraan dan ketenangan keluarga dan juga untuk umum
4. Dharma Putus=Melaksanakan kewajiban dengan penuh keikhlasan berkorban serta rasa tanggung jawab demi terwujudnya keadilan social bagi umat manusia.

Makna yang lebih dalam yaitu Empat Tujuan Hidup yaitu Catur Purusartha / Catur Warga: Dharma, Kama, Artha, Moksa.
1. Dharma = Kewajiban/kebenaran/hukum/Agama/Peraturan/Kodrat
2. Artha = Harta benda / Materi
3. Kama = Kesenangan / Hawa Nafsu
4. Moksa = Kebebasan yang abadi

Swastika dalam berbagai bangsa
Simbol ini, yang dikenal dengan berbagai nama seperti misalnya Tetragammadion di Yunani atau Fylfot di Inggris, menempati posisi penting dalam kepercayaan maupun kebudayaan bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Troya, Hittite, Celtic serta Teutonic. Simbol ini dapat ditemukan pada kuil-kuil Hindu, Jaina dan Buddha maupun gereja-gereja Kristen (Gereja St. Sophia di Kiev, Ukrainia, Basilika St. Ambrose, Milan, serta Katedral Amiens, Prancis), mesjid-mesjid Islam ( di Ishafan, Iran dan Mesjid Taynal, Lebanon) serta sinagog Yahudi Ein Gedi di Yudea.

Swastika pernah (dan masih) mewakili hal-hal yang bersifat luhur dan sakral, terutama bagi pemeluk Hindu, Jaina, Buddha, pemeluk kepercayaan Gallic-Roman (yang altar utamanya berhiaskan petir, swastika dan roda), pemeluk kepercayaan Celtic kuna (swastika melambangkan Dewi Api Brigit), pemeluk kepercayaan Slavia kuno (swastika melambangkan Dewa Matahari Svarog) maupun bagi orang-orang Indian suku Hopi serta Navajo (yang menggunakan simbol itu dalam ritual penyembuhan). Jubah Athena serta tubuh Apollo, dewa dan dewi Yunani, juga kerap dihiasi dengan simbol tersebut.

Di pihak yang lain, Swastika juga menempati posisi sekuler sebagai semata-mata motif hiasan arsitektur maupun lambing entitas bisnis, mulai dari perusahaan bir hingga laundry.

Bahkan perusaha besar Microsoft menggunakan lambang swastika miring ke kanan 45 derajat, mungkin sebagai lambang keberuntungan. Karena sampai saat ini tercatat sebagai perusahaan terkaya di Dunia.

Bahkan, swastika juga pernah menjadi simbol dari sebuah kekejaman tak terperi saat Hitler menggunakannya sebagai perwakilan dari superioritas bangsa Arya. Jutaan orang Yahudi tewas di tangan para prajurit yang dengan bangga mengenakan lambang swastika (Swastika yang “sinistrovere”: miring ke kiri sekitar 45 derajat) di lengannya.
Swastika sebagai lambang Dewa Ganesha (anak Shiva yang bermuka gajah), sebagai makna Catur Dharma.

Kata Krishna pada Arjuna di medan pertempuran .. ketika Arjuna harus berperang melawan saudaranya sendiri inilah yang salah ditapsirkan oleh Hitler yaitu “Lakukanlah apapun yang harus kau laukukan selama itu adalah tugasmu. Kau harus mengemban tugasmu dengan baik walaupun itu berarti harus membunuh (untuk kebaikan), karena melakukan tugasmu dengan baik adalah bentuk pengabdian pada Tuhan”

Hitler mungkin tertarik pada arti swastika makanya dia mengambil lambang swastika dan membaliknya, makanya dia bisa mambunuh dengan tanpa rasa bersalah. Karena dia berpikir apa yang diperbuatnya adalah apa yang benar. Dia berlindung dibawah Swastika yang arahnya terbalik, yang semestinya untuk makna Catur Dharma.
sumber : indoforum

-------------------------------------------------------------------------------

Setelah sang Suyasa memperbaiki cara duduknya. Rsi Dharmakertipun mulailah:

“Anakku, tadi anakku mengucapkan panganjali: “Om Swastyastu”. Tahukah anakndaapa artinya? Jika belum, dengarlah! OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi.

Nanti akan Guru terangkan lebih lanjut. Kata Swastyastu terdiri dari kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU, Su artinya baik, Asti artinya adalah, Astu artinya mudah-mudahan. Jadi arti keseluruhan OM SWASTYASTU ialah “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”. Kata Swastyastu ini berhubungan erat dengan simbol suci Agama kita yaitu SWASTIKA yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos).


Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi. Dan dengan ucapan panganjali Swastyastu itu anakku sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi.

Sang Suyasa:
Oh Gurunda, maafkan kalau hamba memotong. Hamba tidak mengirademikian luas maksud dari ucapan panganjali atau penghormatan hamba tadi itu. Betul-betul hamba tidak tahu artinya. Hamba hanya mendengar dmeikian, lalu hamba ikut-ikutan saja.

Rsi Dharmakerti:
Memanglah demikian tingi nilai dari ajaran Agama kita anaknda. Guru gembira bahwa anaknda senang mendengarnya. Ketahuilah bahwa kata SWASTI (su + asti) itulah menjadi kata SWASTIKA. Akhiran “ka” adalah untuk membentuk kata sifat menjadi kata benda. Umpamanya: jana - lahir; janaka - ayah; pawa - membakar; pawaka - api, dan lain-lainnya.

Ingatkah anaknda apa yang Guru pakai untuk menjawab ucapan panganjali itu?Rsi Dharmakerti:
Tidak mengapa anaknda, Guru akan jelaskan bahwa arti kata OM SHANTI, SHANTI, SHANTI itu ialah: Semoga damai atas karunia Hyang Widhi”

Shanti artinya damai. Dan jawaban ini hanya diberikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sedangkan jawaban atau sambutan terhadap panganjali “Om Suastiastu” dari orang yang sebaya atau dari orang yang lebih tua cukuplah dengan Om Swastiastu yaitu sama-sama mendoakan semoga selamat. Hanya yang lebih tua patut memakai. Om Shanti, Shanti, Shanti terhadap yang lebih muda. Atau dipakai juga untuk menutup suatu uraian atau tulisan.

Sang Suyasa:
Gurunda, maafkan atas kebodohan diri hamba. Akan sangat banyak yang hamba tanyakan supaya benar-benar sirnalah segala kegelapan yang melekat di jiwa hamba.

Gurunda, walaupun kedengarannya agak ke-kanak-kanakan maafkanlah jika anaknda bertanya apa arti agama itu sendiri.

sumber : pustaka hindu

Minggu, 18 Januari 2009

Tumpek Landep,,, Peningkatan ketajaman berpikir

Ida Pedanda Made Gunung:
Mempertajam ''Manah'' dan Kewaspadaan

HINDU memiliki banyak hari raya. Hari raya keagamaan itu sesungguhnya memiliki makna cukup luas. Termasuk Tumpek Landep, tak hanya bermakna ritual. Dalam konteks filosofis, Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kesadaran pikiran. Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Hal itu ditegaskan Ida Pedanda Gede Made Gunung saat memberi dharma wacana di hadapan umat Hindu, Sabtu (15/11) kemarin. Dharma wacana serangkaian perayaan rerahinan Tumpek Landep itu mengambil tema ''Tumpek Landep dalam Kehidupan Sehari-hari''.

Dengan pikiran yang tajam, kata Ida Pedanda, diharapkan umat dapat menumpulkan gejolak indria dan menghindari perilaku menyimpang. Tumpek, kata Ida Pedanda, berarti pula tampek dan landep berarti tanying (tajam). Dalam perayaan ritual Tumpek Landep, umat diingatkan untuk selalu mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan umat dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan.

''Ritual Tumpek Landep sesungguhnya mengingatkan umat untuk selalu menajamkan manah sehingga mampu menekan perilaku buthakala,'' katanya.

Dalam kehidupan sehari-hari umat diisyaratkan untuk selalu menajamkan ilmu dan keterampilan agar mampu bersaing dalam era kesejagatan. ''Yang terpenting lagi, umat hendaknya selalu menajamkan keyakinannya terhadap Tuhan,'' katanya. Dalam situasi seperti sekarang, umat penting pula menajamkan rasa persatuan dan kesatuan dan membangkitkan kewaspadaan diri. Termasuk mewaspadai keamanan Bali. Jangan mau dipecah-belah, karena buta politik. Sebab, sejarah membuktikan, banyak orang Bali menjadi korban politik. Padahal politik dalam arti sesungguhnya memiliki tujuan mulia yakni untuk mensejahterakan masyarakat. Tetapi, praktiknya berbeda, politik justru untuk mensejahterakan kelompok dan diri sendiri.

Ditegaskan pula, ritual Tumpek Landep merupakan tonggak introspeksi (mulatsarira). Artinya, umat manusia dituntun agar bisa mengaktualisasikan diri pada pembentukan watak atau karakter yang sesuai dengan ajaran agama. Setiap Tumpek Landep, umat diharapkan mulatsarira, evaluasi diri apa yang telah dilakukan selama ini. Ini penting untuk melakukan pembenahan-pembenahan dalam masa mendatang.

Kontradiktif
Di sisi lain Ida Pedanda mengatakan, tiada hari tanpa doa di Bali. Tetapi, kondisi di lapangan sangatlah kontradiktif. Ada orang bunuh diri, gantung diri, berlaku seperti buthakala, dan melakukan tindak kekerasan dll. Logikanya, jika umat selalu mendekatkan diri kepada Tuhan, sesungguhnya sikap buthakala semakin jauh dari pribadi umat. Nah, kenapa itu bisa terjadi? Menurut Ida Pedanda, karena umat tidak mampu menghayati diri sendiri dan Bali itu sendiri.

Bali merupakan Pulau Surga. Sebagai pulau surga mestinya orang Bali adalah memiliki sifat Bethara dan Bethari. Tapi kenyataanya ada yang berperilaku di luar sifat Bethara dan Bethari.

Karena itu, Ida Pedanda berharap umat menyeimbangkan keperluan jasmani dan rohani. Jika setiap hari umat masuk dapur tiga kali, hal yang sama mesti dilakukan untuk keperluan rohani. Itu berarti umat mesti bersembahyang tiga kali sehari ke merajan. Dengan demikian, ada keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani.

Ida Pedanda menegaskan, Tumpek Landep bukan otonan motor atau komputer. Tumpek Landep adalah pemujaan Tuhan karena saat itu beryoga Dewa Siwa. Makanya persembahyangan Tumpek Landep adalah di merajan masing-masing. Namun untuk otonan motor paling bagus dilakukan saat Tumpek Landep. ''Jadi, bukan karena ada motor kita merayakan Tumpek Landep,''ujarnya. (lun)
sumber : www.balipost.co.id

Senin, 21 Juli 2008

Filosofi Dewa Ganesa

Ganesa (Sansekerta गणेश ganeṣa dengarkan) adalah dewa ilmu pengetahuan. Dalam pewayangan disebut Batara Gana, merupakan salah satu putra Batara Guru (Siwa). Gana diwujudkan berkepala gajah dan berbadan manusia. Dalam pewayangan ia tinggal di kahyangan istananya disebut Glugu Tinatar.

Ganesha atau Ganesa (Sansekerta गणेश ganeṣa dengarkan) adalah dewa ilmu pengetahuan. Dalam pewayangan disebut Batara Gana, Ganesha

Oleh orang-orang bijaksana, Ganesha diberi gelar Dewa pengetahuan, Dewa pelindung, Dewa penolak sesuatu yang buruk, Dewa keselamatan, dan lain sebagainya. Dalam ukiran-ukiran di candi, patung-patung dan lukisan, Beliau sering dilukiskan:

  • berkepala gajah
  • bertangan empat
  • berbadan gemuk
  • menunggangi tikus

Bermuka gajah melambangkan Dewa Ganesha sebagai perintang segala kesulitan, bagaikan gajah merintangi musuhnya dengan gading yang tajam dan belalai yang panjang. Bertangan empat melambangkan filsafat “empat jalan menuju kebahagiaan”. Berbadan gemuk sebagai lambang orang berbadan besar yang sanggup mengalahkan musuh-musuhnya. Dewa Ganesha menunggangi tikus sebab tikus melambangkan keragu-raguan dalam menghadapi suatu hal, maka dari itu Ganesha berusaha merintangi segala kesulitannya.

Mitologi tentang Dewa Ganesa

Kenapa Beliau berkepala gajah

Dalam kitab Siwa Purana dikisahkan, suatu ketika Dewi Parwati (istri Dewa Siwa) ingin mandi. Karena tidak ingin diganggu, ia menciptakan seorang anak laki-laki dan diberi nama Ganesa. Ia berpesan agar anak tersebut tidak mengizinkan siapapun masuk ke rumahnya selagi Dewi Parwati mandi dan hanya boleh melaksanakan perintah Dewi Parwati saja. Perintah itu dilaksanakan Ganesa dengan baik.

Alkisah Dewa Siwa hendak masuk ke rumahnya, namun Beliau tidak dapat masuk karena dihadang oleh anak kecil yang menjaga rumahnya. Ganesa melarangnya karena ia melaksanakan perintah Dewi Parwati. Dewa Siwa menjelaskan bahwa ia suami dewi Parwati dan rumah yang dijaga ganesa adalah rumahnya juga. Namun Ganesa tidak mau mendengarkan perintah Dewa Siwa, sesuai dengan perintah ibunya untuk tidak mendengar perintah siapapun.

Akhirnya Dewa Siwa kehabisan kesabarannya dan bertarung dengan Ganesa. Pertarungan amat sengit sampai akhirnya Dewa Siwa menggunakan Trisulanya dan memenggal kepala Ganesa.

Ketika dewi Parwati selesai mandi, ia mendapati putranya sudah tak bernyawa. Ia marah kepada suaminya dan menuntut agar anaknya dihidupkan kembali. Dewa Siwa tersadar akan perbuatannya dan ia menyanggupi permohonan istrinya.

Atas saran Dewa Brahma, Beliau mengutus abdinya, Gana, untuk memenggal kepala makhluk apapun yang dilihatnya pertama kali yang menghadap ke utara. Ketika turun ke dunia, Gana mendapati seekor gajah dengan kepala menghadap utara. Kepala gajah itu pun dipenggal untuk mengganti kepala Ganesa.

Akhirnya Ganesa dihidupkan kembali oleh Dewa Siwa dan sejak itu diberi gelar Dewa keselamatan. Menyelamatkan seseorang sebelum ia memulai pekerjaanya, dengan memuja-muja Beliau

sumber : www.tejasurya.com

Minggu, 08 Juni 2008

Posting Opini anda dan Artikel

bagi rekan-rekan yang ingin memposting artikel maupun opini dan tulisan-tulisan, perjalanan dalam seni dan budaya silakan posting atau kirim saja ke email kami di fpmhd_unud@yahoo.com, segala jenis tulisan yang berbau seni, budaya dan religi akan kami tayangkan di blog kami disini.
"no SARA"

Kamis, 05 Juni 2008

Saraswati

Hari Raya Saraswati bagi umat Hindu di Indonesia dirayakan setiap 210 hari sekali menurut kalender Jawa Bali, yakni pada setiap Saniscara Umanis Watugunung.

Arti Kata Sarasvati

Kata Sarasvati dalam bahasa Sanskerta dari urat kata Sr yang artinya mengalir. Sarasvati berarti aliran air yang melimpah menuju danau atau kolam.

Sarasvati dalam Veda

Di dalam RgVeda, Sarasvati dipuji dan dipuja lebih dari delapan puluh re atau mantra pujaan. Ia juga sering dihubungkan dengan pemujaan terhadap deva Visvedevah disamping juga dipuja bersamaan dengan Sarasvati.

Sarasvati dalam Susastra Hindu di Indonesia

Tentang Sarasvati di Indonesia telah dikaji oleh Dr. C. Hooykaas dalam bukunya Agama Tirtha, Five Studies in Hindu-Balinese Religion (1964) dan menggunakan acuan atau sumber kajian adalah tiga jenis naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Sarasvati di Bali dipuja dengan perantaraan stuti, stava atau stotra seperti halnya dengan menggunakan sarana banten (persembahan).

Apabila seorangpemangku melakukan pemujaan pada hari Sarasvati, ia mengucapkan dua bait mantra berikut :

Om Sarasvati namas tubhyam, varade kama rupini, siddhirambha karisyami, siddhir bhavantu mesada.

Pranamya sarya-devana ca, Paramatmanam eva ca, rupa siddhi prayukta ya,, Sarasvati (n) namamy aham.

(Sarasvati 1-2.)

Hanya Engkaulah yang menganugrahkan pengetahuan yang memberikan kebahagiaan. Engkau pula yang penuh keutamaan dan Engkaulah yang menjadikan segala yang ada.

Engkau sesungguhnya permata yang sangat mulia, Engkau keutamaan dari setiap istri yang mulia, Demikian pula tingkah laku seorang anak yang sangat mulia, karena kemuliaan-Mu pula semua yang mulia menyatu.

Om Sarasvati namotubhyam
varade kama rupini,
siddhirambha karisyami
siddhir bhavantu mesada
(Sarasvatistava I)

Om Hyang Vidhi dalam wujud-MU sebagai dewi Sarasvati, pemberi berkah, wujud kasih bagai seorang ibu sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan selalu berhasil atas karuniaMu
Pendahuluan

Berbagai usaha atau jalan yang terbentang bagi Umat Hindu untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa yang sesungguhnya tidak tergambarkan dalam alam pikiran manusia, untuk kepentingan Bhakti, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan atau diwujudkan dalam alam pikiran dan materi sebagai Tuhan Yang Berpribadi (personal God). Berbagai aspek kekuasaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa dipuja dan diagungkan serta dimohon karunia-Nya untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia.

Makna Penggambaran Dewi Saraswati

Tubuh dan busana putih bersih dan berkilauan. Didalam Brahmavaivarta Purana dinyatakan bahwa warna putih merupakan simbolis dari salah satu Tri Guna, yaitu Sattva-gunatmika dalam kapasitasnya sebagai salah satu dari lima jenis Prakrti. Ilmu pengetahuan diidentikan dengan Sattvam-jnanam.

Caturbhuja : memiliki 4 tangan, memegang vina (sejenis gitar), pustaka (kitab suci dan sastra), aksamala (tasbih) dan kumbhaja (bunga teratai). Atribut ini melambangkan : vina (di tangan kanan depan) melambangkan Rta (hukum alam) dan saat alam tercipta muncul nadamelodi (nada - brahman) berupa Om. Suara Om adalah suara musik alam semesta atau musik angkasa. Aksamala (di tangan kanan belakang) melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dan tanpa keduanya ini manusaia tidak memiliki arti. kainnya yang putih menunjukkanbahwa ilmu itu selalu putih, emngingatkan kita terhadap nilai ilmu yang murni dan tidak tercela (Shakunthala, 1989: 38).

Vahana. sarasvati duduk diatas bunga teratai dengan kendaraan angsa atau merak. Angsa adalah sejenis unggas yang sangat cerdas dan dikatakan memiliki sifat kedewataan dan spiritual. Angsa yang gemulai mengingatkan kita terhadap kemampuannya membedakan sekam dengan biji-bijian dari kebenaran ilmu pengetahuan, seperti angsa mampu membedakan antara susu dengan air sebelum meminum yang pertama. Kendaraan yang lain adalh seekor burung merak yang melambangkan kebijaksanaan (Shakunthala, 1989 : 38)..
Penutup

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka Sarasvati di dalam Veda pada mulanya adalah dewi Sungai yang diyakini amat suci. Dalam perkembangan selanjutnya, Sarasvati adalah dewi Ucap, dewi yang memberikan inspirasi dan kahirnya ia dipuja sebagai dewi ilmu pengetahuan.

Perwujudan Dewi Saraswati sebagai dewi yang cantik bertangan empat dengan berbagai atribut yang dipegangnya mengandung makna simbolis bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber ilmu-pengetahuan, sumber wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Catur Veda dan lain-lain menunjukkan bahwa simbolis tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi dengan latar belakang filosofis yang sangat dalam.

Demikian semoga Ida Sang Hyang Widhi senantiasa memberikan waranugrahanya berupa inspirasi, kejernihan pikiran serta kerahayuan yang didambakan oleh setiap orang.

Om Sarve sukhino bhavantu, sarve santu niramayah, sarve bhadrani pasyantu, ma kascid duhkh bhag bhavet.

Ya Tuhan Yang maha Esa, anugrahkanlah semoga semuanya memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Semoga semuanya memperoleh kedamaian. Semoga semuanya memperoleh keutamaan dan semuanya terbebas dari segala duka dan penderitaan.

Om Santih, Santih, Santih, Om.

Sumber:
"Sarasvati : Dalam Veda dan Susastra Hindu", oleh: DR. I Made Titib, 1999-2000
www.parisada.org

Hari Raya Saraswati dari Segi Tattwa, Susila dan Upacara

  1. Tentang Tattwa:
    1. Etimologi.
      Saraswati terdiri dari kata : Saras; dan Wati.
      1. Saras berarti sesuatu yang mengalir, dan kecap atau ucapan.
      2. Wati berarti yang memiliki/ mempunyai. Jadi, Saraswati berarti : yang mempunyai sifat mengalir dan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.
    2. Istilah.
      1. Dalam ajaran Tri Murti menurut Agama Hindu Sang Hyang Saraswati adalah Saktinya Sanghyang Brahman.
      2. Sang Hyang Saraswati adalah Hyang- Hyangning Pangaweruh
      3. Aksara merupakan satu- satunya Lingga Stana Sang Hyang Saraswati.
      4. Pengertian odalan Sang Hyang Saraswati.
        Hari Saniscara Umanis wuku Watu gunung adalah sebagai hari pemujaan turunnya ilmu pengetahuan bagi umat Hindu.

  2. Etika.
    1. Pemujaan Saraswati dilakukan sebelum tengah hari.
    2. Sebelum perayaan Saraswati, tidak diperkenankan membaca atau menulis.
    3. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati tidak diperkenankan membaca dan menulis selama 24 jam.
    4. Dalam mempelajari segala pangaweruh selalu dilandasi dengan hati Astiti kepada Hyang Saraswati, termasuk dalam hal merawat perpustakaan.

  3. Upakara.
    1. Tempat:
      Semua pustaka- pustaka keagamaan dan buku- Suku pengetahuan lainnya termasuk alat- alat pelajaran yang merupakan Lingga Stana Hyang Saraswati diatur dalam tempat yang layak untuk itu.
    2. Banten.
      Upakara Saraswati sekurang- kurangnya: Banten Saraswati, Sodaan Putih Kuning, dan canang selengkapnya.
    3. Kekuluh (tirta).
      Tirta yang dipergunakan hanya tirta Saraswati, diperoleh dengan jalan memohon ke hadapan Hyang Surya sekaligus merupakan tirta Saraswati, di tempat lingga Saraswati masing- masing.
    4. Pelaksanaan:
      1. Didahului dengan Menghaturkan penyucian, ngayabang aturan, muspa dan matirta.
      2. Upakara Saraswati Puja ditetapkan nyejer sampai keesokan harinya.
    5. Banyu pinaruh (pina wruh) Redite Paing Sinta.
      1. Asucilaksana.
        Di pagi hari umat asucilaksana (mandi, keramas dan berair kumkuman).
      2. Upakara.
        Diaturkan labaan nasi pradnyan, jamu sad rasa dan air kumkuman. Setelah diaturkan pasucian/ kumkuman labaan dan jamu, dilanjutkan dengan nunas kumkuman, muspa, matirta, nunas jamu dan labaan Saraswati/ nasi pradnyan barulah upacara diakhiri /
        lebar.

  4. Sanggraha Kosa. (Materi Penyangga).
    Hari Raya Saraswati dilengkapi dengan Sanggraha Kosa
    sebagai berikut:
    1. Lambang, berwujud wanita cantik bertangan empat dengan atribut- atribut cakepan genitri, wina, teratai di samping burung merak dan angsa.
    2. Padewasan.
      1. Dirayakan Hari Saraswati pada Saniscara Umanis Watugunung tampaknya mempunyai kaitan dengan mitologi pawukon, khususnya - Watugunung dan Sinta
      2. Untuk itu perlu didalami apa makna, hari- hari pada kedua wuku tersebut.
    3. Upakaranya.
      Bentuk, nama dan bahan upakara khusus dalam hubungan odalan Saraswati perlu didalami tentang arti dan maksudnya seperti : cecak, daun beringin, daun keraras, gilingan andong dan jamu.
    4. Keputusan: Pedoman kepustakaan dalam hubungannya dengan Saraswati antara lain:
      1. Tutur Aji Saraswati.
      2. Sundarigama.
      3. Medangkemulan.
      4. Purwaning Wariga
      sumber : babad bali

Jumat, 30 Mei 2008

Pagerwesi sebagai benteng lahir dan bathin

Membangkitkan Daya Spiritual di Hari Pagerwesi

Sang Hyang Agni adalah sebutan Tuhan sebagai Guru dalam Vana Parwa, sedangkan dalam konsep Siwa Paksa Tuhan sebagai Guru disebut Sang Hyang Paramesti Guru yang khusus dipuja saat hari raya Pagerwesi. Sementara dalam sistem pemujaan leluhur Sang Hyang Atma sebagai guru dalam Vana Parwa menjadi sistem pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan dalam Hindu Siwa Paksa. Apa sesungguhnya makna hari raya Pagerwesi bagi umat Hindu?

==========================================================

Dalam Lontar Gong Wesi maupun Usana Dewa ada istilah Siwatma yang distanakan di Kamulan yang menjadi salah satu unsur Batara Hyang Guru. Pemujaan Sang Hyang Atma sebagai Batara Hyang Guru adalah pemujaan Guru yang ada dalam diri. Suara Sang Hyang Atma itu tiada lain adalah suara hati nurani. Berguru pada suara hati nurani itu adalah berguru pada Sang Hyang Atma yang masih bersemayam dalam diri.

Oleh karena itu pemujaan Sang Hyang Atma di Kamulan itu adalah untuk membangkitkan daya spiritual untuk berguru pada Tuhan dalam diri yang disebut Sang Hyang Atma. Sedangkan memuja Sang Hyang Paramesti Guru saat hari raya Pagerwesi dalam konsep Hindu Siwa Paksa adalah memuja Tuhan sebagai guru tertinggi di Bhuwana Agung. Pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan dan pemujaan Sang Hyang Paramesti Guru pada hari raya Pagerwesi adalah memuja Tuhan sebagai Guru di Bhuwana Alit dan Guru di Bhuwana Agung. Hal ini hendaknya dilakukan secara seimbang sebagai wujud beragama ke dalam diri (niwrti marga) dan beragama ke luar diri (prawrti marga).

Hari raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru. Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi ngawur.

Hari raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, yang beragama Hindu.

Dalam Lontar Sundarigama disebutkan: ''Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwatumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh.'' Artinya: Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.

Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik beratnya pada para pendeta atau rohaniwan pemimpin agama. Dalam Lontar Sundarigama disebutkan: Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah. Artinya: Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaam (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warga menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan).

Hakikat pelaksanaan upacara Pagerwesi adalah lebih ditekankan pada pemujaan oleh para pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga. Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). Banten yang paling utama bagi para Purohita adalah Sesayut Panca Lingga, sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Pras Penyeneng dan Banten Penek. Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi adalah pemujaan (yoga samadhi) bagi para pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan.

Banten yang paling inti perayaan Pagerwesi bagi umat kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan. Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan.

Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari raya Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima adalah hari raya pemujaan untuk Guru suci yang ditekankan pada pemujaan pada Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu tentang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan dalam kitab Brahma Purana.

Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adiguru loka yaitu gurunya alam semesta.

Sementara Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari Purnima. Walmiki Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang amat berjasa menyusun Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24.000 sloka Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra yaitu bagian inti dari Savitri Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra.

Ke-24 suku kata suci dari Tri Mantra itulah yang berhasil dikembangkan menjadi 24.000 sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja sebagai adiguru loka yaitu mahagurunya alam semesta. Ini artinya pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan dan Sang Hyang Paramesti Guru pada hari raya Pagerwesi dalam tradisi Hindu Siwa Paksa memiliki makna yang sama dan searah dengan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dalam sistem pemujaan Guru dalam tradisi Hindu di India. Agama Hindu itu kemasan budaya luarnya berbeda tetapi isinya sama.

oleh : Yan Adi

Jumat, 18 April 2008

TENTANG BABAD

Agak sulit mendefinisikan apa arti babad. Tetapi dalam hati kita tahu maknanya. Itu yang penting. Babad adalah mengenai leluhur. Ada tentang kepahlawanan, ada kejayaan, ada kegetiran, ada pengkhianatan, ada sejarah, ada silsilah, ada epos, berpadu menjadi satu. Secara pokok tidak lepas dari kiprah para leluhur di masa lalu. Jadi untuk apa berpanjang kata mendefinisikannya?

Ada kesan sumbang membicarakan babad. Konon karena isinya dapat dibelokkan ke arah yang negatif. Bukankah tidak hanya babad yang dapat di'rekayasa'. Sejarah, kontrak, surat, perjanjian, undang- undang, berita, segalanya dapat dibelak-belokkan, kalau mau. Kemudian untuk apa kita dianugerahi akal budi, kalau tidak dapat menyikapi hal demikian?

Oleh karena itu, babad adalah babad. Nilai luhur di balik babad tidak ternilai besarnya apabila kita dapat menggunakan kebijakan kita dalam menyerap sarinya. Ambil misalnya silsilahnya. Catatan yang lengkap dari genealogy dan penyebaran keturunan yang lengkap adalah kekayaan khas kita. Mungkin tiada duanya di dunia. Karena orang Bali seperti kita ini dididik untuk memuliakan leluhur. Banyak nilai religius yang terkait di dalamnya. Hidup kita tidak akan tenang sebelum kita tahu persis berasal dari siapa dan dari mana kita hadir menghamba Ida Hyang Widhi di bumi.

Berbahagialah kita memiliki dan menyimpan babad dalam hati. Tidak berbeda dengan cara kita memahami agama, secara miniatur, babad bukanlah susunan kata- kata mati. Tetapi ibarat kembang gula, telah terkulum di dalam mulut, basah oleh liur kita dan dibelai oleh lidah kita, barulah bisa kita nikmati sarinya. Bukan pula kemasannya yang perlu. Tetapi bagaimana kita menikmatinya dengan sepenuh indra dan hati kita.

dikutip dari babad bali